Selasa, 04 Mei 2010

KOMPAS JABAR 30 MARET

Sistem 3R untuk Kota Cirebon
Oleh: Lutfiyah Handayani

Musim penghujan kini, tidak lagi menggambarkan kehidupan. Hijau, sejuk, tentram kesan tersebut telah berganti dengan ketakutan, emosi, air bah dan gulungan arus yang dipadati oleh sampah yang melumpuhkan kehidupan manusia. Dengan kata lain, musim penghujan menjadi musim mencekam, tidak hanya di Kota besar saja. Cirebon juga menjadi salah satu kota mendebarkan memasuki musim penghujan. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sampah, galib menjadi persoalan penting bagi kota Cirebon, mengingat Volume TPA yang hampir penuh, juga bencana banjir dan rob yang siap menyerang warga kota Cirebon, akibat sampah yang memadati sungai, pantai.
Dari lima kecamatan dengan jumlah penduduk sekitar 300.000 jiwa, warga kota menghasilkan sampah kurang lebih 720 m2 per hari, sampah dan limbah domestik dari pemukiman, industri, pasar dll menjadi sumber pencemaran terbesar ( Kompas, 19 Juni 2009). Dengan mengandalkan lahan seluas 9,6 hektar sebagai tempat pembuangan akhir sampah TPA Kopiluhur, sampah ditimbun setiap hari dengan volume melampaui kapasitas. Kini penggunaannya telah mencapai 80%, sekitar tiga tahun lagi pemerintah Kota harus segera mencari TPA baru.
Meski daya angkut sampah kota Cirebon tidak buruk, namun sampai hari ini kita masih bisa menyaksikan gundukan sampah tersebar di beberapa sudut kota. Belum lagi sampah yang tak terangkut karena masih ada sebagian masyarakat membuang sampah di sungai. Masalah lingkungan yang akan ditimbulkan oleh sampah cukup mengerikan, bukan hanya faktor kesehatan, bahkan bencana.


Kampanye sistem 3R tak terlihat
Kalo kita mengenal K3 dengan baik melalui gerakan yang digalakan bahkan dari tingkat RT, Gerakan spesifik mengenai sampah yang dikenal dengan sistem 3R (mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang) hampir tidak pernah digalakkan secara serius oleh pemerintah. Usaha penanganan sampah pun masih sebatas perdebatan di meja para anggota dewan. Sementara, setiap hari kita tidak bisa menghindari produktivitas sampah, baik yang dihasilkan dari rumah tangga maupun industri.
Meskipun teknologi lingkungan telah bisa menjawab persoalan sampah, melalui proses daur ulang untuk dijadikan kompos dan mol. Namun pemanfaatannya belum begitu memasyarakat. Dibutuhkan kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah untuk bisa mensosialisasikan sistem 3R, sehingga sampah bukan hanya menjadi masalah warga kota yang bermukim di sekitar wilayah TPA atau bantaran sungai.
Pemerintah sebagai penanggung jawab langsung Program pembangunan kesejahteraan sosial masyarakat Kota cirebon, hendaknya segera menyelasaikan persoalan sampah, jangan menunggu bencana. Tindakan preventif yang bisa dilakukan melalui sistem birokrasi pemerintahan yaitu dengan menginstruksikan gerakan 3R secara serentak pada hari jadi Kota Cirebon misalnya, sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menangani masalah sampah. Meski peyalanan sosial sebagai bagian dari pembangunan sosial tidak bisa dilakukan sebatas gerakan monumental. Dibutuhkan usaha yang terencana dan terarah meliputi perlindungan dan pelayanan sosial.
Kreativitas masyarakat dalam sistem 3R dibutuhkan secara aktif karena hampir setiap penduduk kota Cirebon berpotensi menghasilkan 2,4 liter sampah perhari. Kesadaran yang ditimbulkan oleh pengetahuan perlu ditingkatkan. Sosialisasi sistem 3R menjadi penting dilakukan, mengingat karakteristik masyarakat yang cenderung acuh terhadap lingkungan.
Blungbang TPA pribadi
Kebiasaan yang diterapkan orang zaman dulu di Cirebon, dalam menyikapi sampah rumah tangga melalui penggalian lubang dipekarangan rumah, oarng Cirebon menyebutnya blungbang merupakan salah satu teknologi lingkungan yang dilakukan secara sederhana., telah mengajarkan kita memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan, atas sampah yang kita hasilkan. Lubang yang sengaja dibuat biasanya berbentuk persegi dengan ukuran yang menyesuaikan luas halaman yang dimiliki. Lubang tersebut dipersiapkan untuk tempat membuang sampah domestik mereka, serupa tempat pembuangan akhir sampah pribadi.
Masing-masing rumah memiliki blungbang sebagai kelengakapan kebutuhan keluarga, serupa dengan kebutuhan, garasai atau ruang dapur laiknya. Sistem penguraian alamiah digunakan dalam pengguanaan blungbang. Blungbang kembali ditutup (diurug) jika sudah penuh, dibiarkan menjadi kandungan daman tanah yang sebelumnya dibakar terlebih dahulu, dengan maksud memudahkan terurainya sampah non-organik. Namun sepertinya konsep blungbang tidak memungkinkan lagi untuk dipraktekan mengingat lahan yang semakin sempit di wilayah perkotaan, pemukiman menjadi padat dan pekarangan tak dibiarkan menjadi taman semata. Oleh karena itu perlu adanya alternatif sebagai media pengganti blungbang.
Bak sampah permanen dengan ukuran sedang yang biasa kita lihat di ujung komplek perumahan merupakan satu bentuk alternatif, atau drum bekas yang dijadikan sebagai bak sampah. Baik bak sampah permanen maupun drum tersebut dijadikan tempat sampah dengan tahapan seperti pada sistem blungbang, untuk sampah domestik sepertinya model tersebut cukup membantu untuk mengatasi masalah sampah domestik. Sistem 3R menjadi motor terhadap aktivitas penangan sampah, baik melalui penggunaan blungbang ataupun drum.
Diperlukan ketegasan pemerintah kota untuk mensukseskan program daur ulang sampah kepada masyarakat. Menggalakkan sistem 3R melalui program pemerintah bukan sekedar slogan atau tugas birokratis yang parsial dan ala kadarnya. Namun penanganan yang serius dan berkesinambungan. Sehingga pendangkalan sungai, pantai juga penumpukan sampah bisa segera diatasi, dan masyarakat terhindar dari bahaya banjir dan rob pada musim penghujan. Pun penegasan yang dinyatakan walikota Cirebon, Subardi pada sidang paripurna hari jadi kota Cirebon ke-640,bukan sekedar retorika.
Penulis, pegiat Lingkar Studi Sastra (LSS) Cirebon