Pak Dirjo
Oleh Lutfiyah Handayani
Angin musim kemarau menyapu bersih dedaun yang berserak di jalan dusun Durenan Tejo, sesekali tertiup dengan tertib bak tentara latihan baris berbaris, memenuhi sisi jalanan. Keinginan untuk merantau, pindah ke daerah lain rupanya terus menggelitik pikiran pak Dirjo, seiring dengan beban keluarga yang terus meningkat menyusul dengan kelahiran anak keempatnya. Pak Dirjo kian mematangkan niat untuk hijrah dan mencari harapan baru di sebuah kota.
Tempat kelahirannya dusun Durenan Tejo, dimana ia sedari remaja menyandarkan hidup dengan menjadi buruh pabrik tekstil dirasa tidak begitu menjanjikan untuk perkembangan anak-anaknya kelak. Kehidupan desa yang serba terbatas, dan penghasilan yang biasa saja. Akhirnya, dengan berbekal tekad dan iman yang coba ia yakinkan terus menerus, akhirnya pak Dirjo pada senja yang tangguh, saat bu Dirjo tengah menyelesaikan tugas sucinya, memasak untuk makan malam, pak Dirjo menyampaikan niatnya untuk mengajak keluarga merantau, “bu, ngerti saiki zaman wis berubah”, Tanya pak Dirjo memancing, “iya, iyo pae iki piye si, wit mbien po iyo podo” sahut bu Dirjo, nampaknya bu Dirjo masih belum ngeh yang dimaksud suaminya. Kemudian pak Dirjo meneruskannya dengan bercerita tentang kesuksesan orang perantauan, hikayat pedagang sate Madura, balada pedagang pecel Madiun, roman pedagang nasi Padang. Hingga, menjelang senja tenggelam dan keinginan pak Dirjo semakin menggigil setelah ia ceritakan kesuksesan orang-orang perantau tadi, padahal maksudnya tadi sebagai pengantar keinginannya untuk pindah kepada bu Dirjo.
“Wis, maghrib si’ pa, la wong aku ini pecinta sastra klasik kok diceritain begituan, yo mesti hafal aku toh? Sampe ni pak, bu e iki tahu penulise sopo sing ngarang cerita ngono iku…” bu Dirjo menjawab sambil terkekeh. Pak Dirjo membalas dengan wajah mengkirut sambil menggaruk kepala, ia sebenarnya tidak tega harus meninggalkan Jogjakarta, dimana ia dilahirkan, ia menghabiskan masa remaja hingga bertemu dengan pujaan hatinya, di lapangan Murangan setelah turnamen bola voli Agustus-an dua puluh tahun silam. Ia jadi terkenang, bayangan masa lalu itu menggenang di mangkuk sup sisa makannya di meja.
“hush” suara itu menghentak lamunan pak Dirjo, menggeleparkan keinginan jadi tekad, “bu, seisuk tak pindah yu” pak Dirjo akhirnya menembakkan pertanyaan yang seminggu ini ia siapkan pada bu Dirjo, “Pindah kemana pak?pentung..opo ngendi..?” “Cirebon..” suara pak Dirjo mewarnai lanskap langit maghrib saat semua hening..bu Dirjo terhenyak..”Cirebon..” entah apa yang ada dalam kepala perempuan tengah baya ini, sambil merapal nama Cirebon ia terus melakukan aktivitasnya.
Kemudian ia menghampiri suaminya, “Ne’ pae wis siap, bue iki siap, mendi wae pa” seraya memeluk suaminya bu Dirjo meninggalkan suaminya yang masih termangu di kursi. Sebagai pegawai berprestasi pak Dirjo merasa memiliki potensi untuk mengembangkan kreativitasnya ditempat lain, yang lebih menjanjikan tentunya,semua itu demi masa depan keluarga. Seperti biasa pukul enam pagi pak Dirjo bersiap menuju pabrik yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah. Warga desa Durenan Tejo sebagian besar jadi pegawai di pabrik tekstil tersebut, yang terletak di ujung desa. Daerah kami termasuk kawasan daratan tinggi, kabupaten Sleman sebagai kabupaten terkaya di Jogja memang luas dan memiliki banyak asset selain pertanian. Tanah kami subur, di ladang, pekarangan rumah kami bisa menanam tembakau, dan jenis sayuran.
Pukul setengah dua belas, bel dari ruang bagian personalia dibunyikan, “pak Dirjo, bulan depan mancing yu pak” seru pak Kus dari jauh, “hey, pak Kus” pak Dirjo membalas, “ngene lo pak , apurane sak derange nggih nek sasi ngarep niku mungkin aku wis pindah..” jelas pak Dirjo. “pindah?” pak Kus terperanjat, “la kok iso?” .”Iki lagi rencana, tapi aku sak’ keluarga uwis madep mantep arep pindah Cirebon, menurutmu piye? Jelas pak Dirjo. Dengan terus melahap ramsum makan siang pecel dari istrinya.
Matahari semakin tegas melemparkan sinarnya, menghasilkan ratusan butiran peluh dari punggung buruh, yang memintal di pabrik ini. Bayangan ketiga anak-anak ku tertanggal pada mesin pabrik, bagaimana bisa aku akan tetap bertahan dengan segala keterbatasan ini. Jaminan pendidikan, kesehatan, dari pabrik kami hanya untuk dua anggota keluarga lainnya. Sementara jumlah keluargaku sudah ada lima orang termasuk aku dan isteriku. Saraf pak Dirjo menegang, darahnya bergejolak mendorong semua keinginan untuk pindah. Dipikirkannya lagi, dipertimbangkan segala kebaikan dan keburukan yang mungkin akan terjadi.
Senja menuruni desa Durenan Tejo dengan biru, pak Kus dan pak Dirjo menggayuh sepeda dengan percakapan tentang pertandingan gulat yang akan diadakan dibalai desa,. Nampaknya pak Dirjo masih berharap pandangan dari kawannya soal tekadnya untuk pindah ke Cirebon, “Piye pak, aku ki nganti saiki tetep mantep arep pindah..” sela pak Dirjo diantara obrolan gulatnya. Pak Kus menghentikan sepedanya, diikuti dengan pak Dirjo, mereka duduk di bawah pohon asem di simpang jalan Ngangkrik. “ Ngene, lo Jo, kowe wis mantep tenan po?nek wis mantep tenan kan kowe gari mikir piye carane metu seko pabrik, Berhubung masa kerjamu kan masih panjang, belum lagi tenaga mu ki isih dibutuhkan pabrik” papar pak Kus dengan runtut pada Pak Dirjo.
“Iku masalahe, aku ra yakin tenan entuk ijin, tapi iki hak ku kn, toh aku sing duwe pilihan” jawab pak Dirjo tegas. Memang sebagai pegawai pak Dirjo memiliki etos kerja yang tinggi dengan kualitas pegawai sebaik pak Dirjo, rasanya pabrik akan memikirkan ulang permintaan pensiun muda dari pak Dirjo. Memang untuk ukuran teman sejawatnya pak Dirjo dikenal cukup pendiam, cara kerjanya cepat, rapih dan tangkas, sekelasan pegawai biasa pak Dirjo dengan semangat kesejahteraan yang tinggi sampai berpikiran untuk merantau. Mengadu nasib ke daerah lain, yang entah di daerah tersebut apakah banyak yang akan bisa dia perbuat, tanpa sanak sodara dekat.
Tak terasa, adzan magrib berkumandang, kedua karib itu, segera beranjak dan bergegas pulang. Tentu saja dalam pikiran pak Dirjo sudah ada rencana apa yang akan dia lakukan di sana, Cirebon Kota tujuannya. Sayup-sayup pak Dirjo mendengar informasi tentang Kota pesisir pantai Utara Jawa tersebut. Dan memang Cirebon sebagai salah satu pusat peradaban di pulau Jawa juga cukup terkenal, keluhuran budaya serta bawanya religisitasnya tersohor. Pak Dirjo membayangkan rumahnya kelak di Cirebon ditanami pohon kelapa, kresem, dan beberapa tumbuhan pesisir lainnya dan ia akan membuang keinginannya untuk terus memelihara pohon Durian. Membayangkan itu pak Dirjo tertawa geli..seraya berdoa”Gusti, tulung paringi petunjuk yang terbaik.” . desir-desir mimpi pak Dirjo membawanya sampai ke halaman rumahnya, sesosok perempuan hamil melambaikan tangan penuh kasih pada lelaki paruh baya ini.
“Iki pun maghrib pak? Kemana dulu toh ? Tanya bu Dirjo seraya menyuguhkan teh hangat di joglo. “Ngobrol sama pak Kus, tuker pikiran soal niat kepindahan kita bu..” sahut pak Dirjo. Pak Kus memberi banyak masukan, pandangan bagaimana nanti seandainya kita jadi pindah. Dari mulai pabrik, anak-anak, keluargamu, keluargaku, Cirebon, juga rumah peninggalan Ibu..” pak Dirjo menghela napas. Matanya kembali menerawang persoalan yang akan dihadapi berkaitan dengan keputasannya itu. Buru-buru ia menyergap fikirannya, “Aku tak mandi si’ bu..”
Cahaya bulan menerobos pohon durian, pantulannya bergoyang diatas kolam samping rumah pak Dirjo. Ia pejamkan matanya menyerap semua energi yang ada dari kampung halamannya. Diserapnya kenangan, erangan, tangisan dan debu-debu daun yang berjatuhan dihalaman dalam-dalam, ada ngilu yang beradu di ingatannya. Gemuruh di dadanya ia biarkan sejenak, biarkan bergejolak hingga ia menghembuskan napas dengan perlahan dan membuka mata. Pak Dirjo sebagai penduduk asli Dusun Murangan merasa berat untuk meninggalkannya,
Catatan sejarah yang separuh telah meresap di tanah ini, dihamparan ladang dan rimbun pohon bambu, begitu juga cintanya, pertemuan dengan bu Dirjo di lapangan desa Murangan akan selalu menghidupkan keinginan untuk kembali dan membaui tanah kelahirannya. “ini pae..” seru bu Dirjo dengan menyodorkan sehelai kertas, pak Dirjo meminta bu Dirjo membuat surat pengunduran dirinya dari pabrik sebagai bukti keridhoan bu Dirjo untuk merantau.
Pak Dirjo memandangi surat itu dengan seksama, kemudian bertanya pada bu Dirjo seraya mengelus perut bu Dirjo yang tengah mengandung. “mungkin sing nomer papat lahiri ning Cirebon bu..” suara pak Dirjo lirih. “Kebaikan akan membawa kita pada kesejahteraan dunia akhirat pa..percayalah..” balas bu Dirjo. “Sesuk surat tak lebokke, ben cepet entuk jawaban..” “mapag si jabang, ben pas lahir awak dewe wis duwe omah ning cirebon..” memang bagi pak Dirjo kebahagiaan keluarga lebih dari segalanya. Ia teringat almarhum bapaknya yang berpesan “sing jenenge wong lanang, tiyang kakung iku, wong sing iso nganggep wong wedok tiyang estri iku dadi bagian uripe, wong lanang butuh wong wedok lan sebalike. ” karena memang pak Dirjo sangat pendiam, mungkin hanya dengan cinta bagaimana memahami perilakunya.
Setelah mendapat surat keputusan dari pabrik, pak Dirjo dan keluarga pindah ke Cirebon dengan penuh suka cita, ia menghamparkan mimpinya lagi merajut hari-hari membangun rumah, hingga datang waktu kelahiran anaknya yang ke-empat. Kini pak Dirjo menjadi bagian penting dari pabrik baru dimana tempat ia bekerja di Cirebon.
Empat tahun kemudian pak Dirjo dikarunia satu anak lagi, kini di usia senja pak Dirjo hendak melengkapkan kebahagiaan untuk menunaikan ibadah haji, sebagai bonus dari perusahaan tempat ia tinggal karena prestasi kerjanya yang bagus.
Jogja, 2009
Minggu, 30 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar