Jumat, 28 Agustus 2009

Puisi Hidayat Mohamad arif

Hidayat Mohamad Arif

Kota Tua dan Ritus Dupa
1
Udara terapung di atas pohonan tanggung
rindang kamboja seperti tugu-tugu merah yang diam
dari gugus galaksi, bulan gerhana
terang diserap remang
ada deru ombak menyusun lirik lagu:
lekuk terumbu, tarian nyiur, tambak udang
tercatat dalam riuhnya pesisir.
2
Buritan kapal seperti pengasingan
ribuan mangrove tumbuh
di tepi pesisir, sayap camar jadi kenangan
dan pasir-pasir bertambah sekal
sementara ladang garam kehilangan asin
alam bersitegang
maka, ikan-ikan memilih jadi imigran.
3
Jangkar karam berkarat
bantar sungai pekat
kapal-kapal coret-moret
sementara gudang seperti gua
tangan pekerja membongkar tembok-temboknya
untuk kenangan atau batu nisan
batu-batu yang dilelangkan di pelabuhan.
4
Dan kini hujan di menara
komposisi jarum jam seperti memperhelatkan
buritan kapal, jangkar karam
juga yang tinggal sejumlah nelayan terus sibuk
menyusup di gemuruh pesisir
dibayang-bayangi udara yang mengapung
di baris-baris suluk aku canggung
kota tua dan ritus dupa satu berita
berisi cerita terkadang sengketa.

Cirebon, 2005.

Malam dengan Sayap-sayap Angin
Malam dengan sayap-sayap angin yang runcing
di tenggara, hujan bergetar dalam jiwa kembara
ada titik masa lalu berlepasan di rambutmu
yang helai-helainya bisu
dan angsana pun berguguran seperti riuh kabut
pada lengkung punggungmu, menyimpan resah puisi
aku bangkit menuliskan kata-kata yang berdarah itu.
Di lenganku, antara bayang purnama dan akasia
seperti muara yang menyusun separuh wajahmu
wajah yang dipantulkan guguran embun
memetik jiwaku di bawah gerak angin
pada lengkung punggungmu, tersimpan resah puisi.
dan dua tanganku mendekap dinginnya waktu.
Malam dengan sayap-sayap angin yang runcing,
di tenggara, lepas dari purnama
dalam sepi, pada lengkung punggungmu
menempuh rahasia
bersama puisimu yang paling sunyi.

Cirebon, 2005

Sebuah Catatan
Purnama September, di teras rumah
setelah rintik hujan itu
akasia kuyup
sekawanan rumput berdiam
ada genangan di halaman
malam bercahaya pualam
hanya batu-batu yang tetap menghitam.
Di kolam yang bentuknya tapal kuda
antara tembikar dan sisa air bekas jilatan anjing
menjadi bayang-bayang
Mengapa waktu begitu lemah
tak ada serangkai catatan
dari perjalanan?
Di kolam yang bentuknya tapal kuda
sekepal batu jadi jejak rintihan anjing
menjadi segala kenangan
Malam runtuh ke pagi
saatnya pergi, saatnya
tak ada catatan yang bisa jadi puisi.

Cirebon, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar