Sastra Cirebon, Penciptaan dan Kritik
Lutfiyah handayani*)
Kasmaran ingkang pinuji
Tangiya sajrening nendra
Ngelilir bangun sukmae
Ana tangis mangumbara……(Salana)
Penggunaan Bahasa Cirebon dalam Sastra Cirebon
Sastra Cirebon adalah salah satu bagian penting dalam upaya pelestarian bahasa Cirebon, karena karya sastra merupakan seni bahasa, dimana dalam konstruksi karya sastra bahasa menjadi hal paling penting untuk mengemukakan ide, pengalaman dan kemampuan imajinasi secara estetik. Dalam perjalanannya kegiatan tulis menulis di Cirebon yang memiliki muatan sastra sudah ada sejak zaman hindu-budha dimana tercipta suluk, syair untuk melakukan pemujaan kepada dewa, sesuai dengan tinjuan sosiologis bahwa karya sastra diciptakan dengan tujuan tertentu. Metode dakwah yang dilakukan oleh para pemuka agama (baca:wali) menggunakan suluk karya sastra zaman sebelumnya yang dimasukan muatan Islami, pola penciptaan sastra lokal Cirebon pada zaman itu bertumpu pada kebutuhan dakwah Islam.
Selain suluk dan pupuh, sastra Cirebon lain yang menggunakan medium bahasa diantaranya guritan (puisi), bahasa berfungsi sebagai tanda yang digunakan pengarang untuk mentransformasikan kejadian-kejadian sosial masyarakat, sehingga bahasa yang terdapat dalam guritan menjadi tanda yang terpenting dalam kehidupan manusia. Bahasa Cirebon sendiri secara umum dikenal memiliki tiga tingkatan bahasa yaitu bagongan, bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat umum-digunakan sebagai medium komunikasi dengan orang sebaya, kemudian dikenal bebasan, tingkatan bahasa yang digunakan oleh kalangan pesantren, kiai, juga bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau dihormati; orang tua, guru, tingkatan berikutnya disebut dengan kromo inggil, bahasa yang digunakan dalam kalangan keraton, merupakan tingkatan yang paling tinggi dan halus dalam bahasa Cirebon. Ragam dialek dalam bahasa Cirebon, seputar perbedaan pada pelafalan, kosakata dan istilah, menjadi n khazanah tersendiri pada karya sastranya.
Karya sastra Cirebon menggunakan bahasa, kawi Cirebonan, sansekaerta. Bahasa yang menjadi medium dalam karya sastra mampu menghadirkan suasana kreatif yang tercipta melalui proses berfikir pengarang dan memberikan pencerahan pada individu yang melakukan kajian terhadap karya sastra. Intensitas penggunaan bahasa Cirebon dalam karya sastra berupa guritan, suluk, juga seputar babad Cirebon yang bermuatan historis dan fiksi, mengisahkan karakter tokoh dalam hal ini nabi, wali melalui penuturan dan cerita. Karena karya sastra Cirebon bersifat kisah, sebagian besar karya sastra Cirebon dikenal sebagai kitab kuno yang berperan sebagai teks adat kebiasaan masyarakat Cirebon, baik yang bersifat umum maupun privat, tentang nilai, norma dan estetika adat masyarakat Cirebon. Tradisi ritual yang menjadi bagian adat masyarakat Cirebon merupakan manifestasi kebudayaan manusia yang mengejawantahkan keyakinan dan pola hidup masyarakat waktu itu.
Kepercayaan terhadap keampuhan suluk, pupuh, guritan dan beberapa karya satra lain dalam mentransformasikan nilai ke dalam kehidupan sehari-hari menjadi kekuatan tersendiri pada masa itu, dimana karya sastra lahir dari kebutuhan untuk kekuasaan keraton, pemujaan terhadap dewa yang dipercayai, penyebaran agama Islam. Karya sastra Cirebon terdiri dari sastra lisan dan tulisan, keduanya menggunakan bahasa Cirebon. Sastra Cirebon kini harus berhadapan dengan globalisasi termasuk ruang kolektif penciptaan yang dulu tercipta dikalangan sastrawan dalam upaya pengejawantahan ide dan realitas ke dalam karya sastra. Bagaimana kita mampu bertahan dengan proses kreatif yang memiliki prinsip penciptaan yang sedemikan rumit, sementara globalisasi menawarkan kemudahan dan proses yang serba instan.
Sementara diungkapkan Dr. Kuntowijoyo, ‘Sastra sebagai bidang kajian sejarah intelektual masih belum banyak mendapat perhatian, baik dari para penulis sejarah maupun kritikus sastra Indonesia, padahal sastra Indonesia menawarkan begitu banyak kemungkinan. Sejarah intelektual dapat mempelajari perkembangan sastra dari internal-dialektik-nya, dengan membahas perkembangan, kontinuitas, dan perubahan konsep kunci dari tema, proposisi, dan posisi pikiran pengarangnya.
Melahirkan Kritik Sastra Lokal
Yang menjadikan sastra terus berkembang salah satunya ditandai dengan kritik sastra sebagai dinamisator sekaligus motivator dalam berkarya, pada tingkatan lokal, kritik sastra tidak mengalami banyak perkembangan, yang menjadi patokan pada kritik sastra lokal masih pada wilayah pakem penulisan sastra secara umum yang dirujuk dari standar kritik sastra saja, kajian kritis yang bersifat isi dan subtantif pada sastra lokal masih belum ada. Sementara karya sastra umum mengalami pemutahiran pada beberapa tingakatan karena memiliki kelembagaan yang melukakan dialog dengan karya sastra sehingga pembaharuan terus terjadi pada tingkatan tersebut.
Publik sastra lokal, tidak melakukan ”perlawanan” terhadap gagasan yang dikemukakan pada karya sastra lama, sehingga pembahuruan pada teks tidak terjadi, eksplorasi subtantif pada teks juga belum dilakukan dengan maksimal, ‘mengkeramatkan’ teks. Teks klasik harus menghadapi waktu yang terus mempertanyakan fungsi-fungsi sastra pada tingkatan tertentu, sosial misalnya, sehingga karya sastra yang bagus itu. Ketika teks memiliki universalitas dan mengemuka. Dengan semangat pembaharuan ‘perlawanan’ itu bisa kita wujudkan dalam pengertian sebagai pemutahiran teks.
Dari situlah akan memunculkan totalitas proses kreatif, sehingga tercipta standar mutu untuk bisa menyatakan sebuah karya sastra layak atau tidak. Perkembangan sastra lokal harus mendapat respon dari publik sastra sehingga tercipta ruang dialog untuk melakukan penyempurnaan. Menciptakan ruang dialog publik sastra ditingkatan lokal bisa dimulai melalui, komunitas-komunitas serius yang memiliki konsentrasi karya sebagai perwujudan intelektualitas. Pada era 70-an terjadi perdebatan seputar lokalitas dan nasionalisme, kehawatiran terhadap kekuatan sastra lokal dapat mengganggu nasionalisme kini tidak lagi ada, dewasa ini seiring dengan UU No. 24 Tahunn 2003 berkaitan dengan otonomi daerah, sastra harus membangun ruang publik “public sphare” untuk menjadi media potensi lokal yang memiliki basis intelektualitas.
Bahasa Cirebon yang digunakan dalam karya sastra terkesan ekslusif-dengan karena tidak banyak generasi muda yang menguasai kosakata asli Cirebon, hal itu terlihat dari banyaknya pengucapan yang salah saat membaca teks sastra Cirebon, sementara sastra akan dapat berkembang ketika diimbangi dengan kritik sastra- kritik sastra lokal khususnya Cirebon hampir belum terbentuk secara khusus, sejauh ini koreksi yang dilakukan pada karya sastra Cirebon hanya berkisar pada pakem lama seperti rima, bait dan aturan baku yang masih universal- dokumentasi kosakata Cirebon melalui kamus bahasa Cirebon tidak mewakili kebutuhan berbahasa lokal yang baik, karena komunitas penutur bahasa Cirebon asli sangat sedikit.
Membangun kultur tradisi dengan menuturkan bahasa Cirebon asli dalam sebuah komunitas, dapat kita jadikan sebagai langkah awal pengembangan sastra Cirebon, sehingga dialektika yang terjadi lebih banyak. Dan tidak menutup kemungkinan perkembangan bahasa Cirebon akan dapat meningkat dengan sendirinya, sesuai dengan jumlah penuturnya.
*) Penulis adalah Penggiat Lingkar Studi Sastra (LSS)
Senin, 20 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mbak, gadha buku tata basa cerbon lan buku basa cerbon sanese mboten?
BalasHapuskula bade damel skripsi ingkang isinipun perbandingan sastra cerbon sareng sastra jepang. menawi gadha, kula njaluk tulung. Sederenge matur kesuwun sanget...